Pendahuluan
Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank)
adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.
Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain
istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank),
Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank).
Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis
penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang
secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni
Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini
disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua,
yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan
dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian prinsip syariah
sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan
prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan
adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank
oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda
dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary
institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas
pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil
bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional
mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa
yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun
mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan
transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari
Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank
Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan
perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi
Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya
pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan
dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah
wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi
pengantar bagi sejarah perkembangan Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan
pokok menyangkut perkembangan teoritis, kelembagaan dan hukum positif mengenai
Perbankan Islam. Namun mengingat perbankan Islam bukan merupakan fenomena khas
Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh dunia
luar, maka bab sebelumnya akan membahas perkembangan perbankan Islam secara
umum di luar Indonesia dan secara internasional.
Perkembangan Perbankan Islam
Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari
mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan.
Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga
adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan
tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama
kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan
bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari
penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad
(1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai
perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi
(1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .
Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama
adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan
permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr.
Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen
perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam
produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar
orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada
tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir
berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya
tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai
Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari
berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal
Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait
mendirikan Kuwait Finance House .
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam
pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri
Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan
Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank
Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank
for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation
of Islamic Banks) . Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut
adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu
sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .
Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi,
Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali
diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam
penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam.
Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri
Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian
Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan
beranggotakan semua negara anggota OKI .
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an,
Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan,
Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga
perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis,
yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal
Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank,
Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan
Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi
dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami
(Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company
(Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank
(Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Perbankan Islam di Indonesia
Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia
dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank
Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian
tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A
Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji
coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di
antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho
Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah
mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk
menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan
pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya
secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus,
yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut
adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte
pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992,
BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai
bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia.
Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat
dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut
merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali
Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi
konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan
Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi
keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will
belum mendukung.
Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No.
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan
usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa
Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni
1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti
(BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa
cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari
2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan
membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank
Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.
Hukum Perbankan Islam
Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank
Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat
dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis
maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi
Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf
m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta
penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank
Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI,
namun hanya menyebutkan:
“menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah."
Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992
tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi
berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan
prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992
tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan
Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang
dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi
hasil”.
Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi
hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik
dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang
dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at
dalam melakukan kegiatan usaha bank.
Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72
Tahun 1992,
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :
·
Larangan
melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya
kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip
bagi hasil.
·
Kewajiban
memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk
perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip
Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil
konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain
ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan
dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam
yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan
secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat
misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan
dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk
mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk
penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi
yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen
investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan
bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos
anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni
pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional.
Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan
perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI
berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan
tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan
perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di
Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian
bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum
bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin
terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan
kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama
Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di
antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan
menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi
MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut :
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut :
“Undang-undang
Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum
ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil”
yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun
1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri
dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).”
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).”
Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih
dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam
Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal
1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam
secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan
Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan
tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah
sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :
·
Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya
Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
·
Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
·
Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan
instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000
Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia,
yakni :
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan
Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank
umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman
dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
, yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana
berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan
pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek
perbankan konvensional.
Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia
di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah,
sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam
melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan
kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka
pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut
lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara
hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip
syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.
Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas,
terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga
wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya
dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan,
produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh
lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan
sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga
keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa
penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut:
(Keputusan
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung, 1992)
Para
musyawirin masih berbeda pendapatnya tentang hukum bunga bank konvensional
sebagai berikut :
a.
Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak,
sehingga hukumnya haram.
b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumya boleh.
c. Ada pendapat yang mengatakan hukumnya shubhat (tidak indentik dengan haram).
b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumya boleh.
c. Ada pendapat yang mengatakan hukumnya shubhat (tidak indentik dengan haram).
Pendapat
pertama dengan beberapa variasi antara lain sebagai berikut :
a. Bunga itu itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
b. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara belum beroperasinya sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c. Bunga itu soma dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rojihah).
a. Bunga itu itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
b. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara belum beroperasinya sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c. Bunga itu soma dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rojihah).
Pendapat
kedua juga dengan beberapa variasi antara lain sebagai berikut:
a. Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
b. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
c. Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh.
d. Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.
a. Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
b. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
c. Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh.
d. Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.
Mengingat
warga NU merupakan potensi terbesar dalam pembangunan nasional dan dalam
kehidupan sosial ekonominnya, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan sebagai
pempinjam dan Pembina yang memenuhu persyaratan-persyaratan sesuai dengan
keyakina kehidupan warga NU, maka dipandang perlu mencari jalan keluar
menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam yakni bank tanpa
bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
sebelum tercapainya cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang
dijalankan sekarang ini harus segera diperbaiki.
2.
Perlu diatur :1) Dalam penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip.
a). Al-Wadi’ah (simpanan) bersyarat atau dlaman, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (saving account) serta pinjaman dari lembaga keuangan lain yang menganut sistem yang sama.
b). Al-mudlarabah.
a). Al-Wadi’ah (simpanan) bersyarat atau dlaman, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (saving account) serta pinjaman dari lembaga keuangan lain yang menganut sistem yang sama.
b). Al-mudlarabah.
Dalam
prakteknya, bentuk ini disebut investment account (deposito berjangka),
misalnya 3 bulan, 6 bulan dsb. yang pada garis besamya dapat dinyatakan dalam:
1. General investment account (GIA)
2. Special investment account (SIA)
1. General investment account (GIA)
2. Special investment account (SIA)
2).
Dalam Penanaman dana dan kegiatan usaha :
a.
Pada garis besamya ada 3 kegiatan yaitu :
- Pembiayaan proyek.
- Pembiayaan perdagangan perkongsian
- Pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit sharing dsb.
- Pembiayaan proyek.
- Pembiayaan perdagangan perkongsian
- Pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit sharing dsb.
b.
Untuk proyek financing sistem yang dapat digunakan antara lain :
1. Mudharabah muqaradhah
2. Musyarakah syirkah
3. Murabahah
4. Pemberian kredit dengan service change (bukan bunga)
5. Ijarfah
6. Bai’uddain, termasuk di dalamnya bai’ussalam
7. Al-qardul hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, tanpa service change)
8. Bai’u bitsumanin aajil
1. Mudharabah muqaradhah
2. Musyarakah syirkah
3. Murabahah
4. Pemberian kredit dengan service change (bukan bunga)
5. Ijarfah
6. Bai’uddain, termasuk di dalamnya bai’ussalam
7. Al-qardul hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, tanpa service change)
8. Bai’u bitsumanin aajil
c.
Untuk aqriten participation, bank dapat membuka L C (Letter of Credit) dan
pengeluaran surat jaminan. Untuk ini dapat ditempuh kegiatan atas dasar:
1. Wakalah
2. Musyarakah
3. Murabahah
4. Ijarah
5. Sewa – beli
6. Bai’ ussalam
7. Al-bai’ul aajil
8. Kafalah (garansi bank)
9. Warking capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui purshase order denganmenggunakan prinsip murabahah.
1. Wakalah
2. Musyarakah
3. Murabahah
4. Ijarah
5. Sewa – beli
6. Bai’ ussalam
7. Al-bai’ul aajil
8. Kafalah (garansi bank)
9. Warking capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui purshase order denganmenggunakan prinsip murabahah.
·Untuk jasa-jasa perbankan
(banking service) lainnya, seperti pengiriman dan transfer uang, jual beli
valuta danpenukarannya dll., tetap dapat dilaksanakandengan prinsip tanpa
bunga.
·
Apakah
gaji-gaji yang diterima oleh para pegawai bank-bank secara umum ?
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz mengatakan [dalam Kitabut Da'wah, Juz I] :
“Tidak
boleh bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba karena hal itu berarti
membantu mereka di dalam melakukan dosa dan pelanggaran. Sementara Allah telah
berfirman “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
[Al-Ma'idah : 2]
Dan
terdapat pula hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara shahih
bahwasanya “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba,
pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan
“Mereka itu sama saja” [Hadits Riwayat Muslim, Kitab Al-Musaqah 1598].”
Selanjutnya,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan [dalam Fatawa Syaikh Ibn
Utsaimin, Juz II]:
“Bekerja
di sana diharamkan karena dua alasan.
Pertama
: Membantu melakukan riba
Bila
demikian, maka ia termasuk ke dalam laknat yang telah diarahkan kepada
individunya langsung sebagaimana telah terdapat hadits yang shahih dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau : “melaknat pemakan riba,
pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya.
Beliau
mengatakan, “Mereka itu sama saja”.
Kedua
: Bila tidak membantu, berarti setuju dengan perbuatan itu dan mengakuinya.
Oleh
karena itu, tidak boleh hukumnya bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan
riba. Sedangkan menyimpan uang disana karena suatu kebutuhan, maka tidak
apa-apa bila kita belum mendapatkan tempat yang aman selain bank-bank seperti
itu. Hal itu tidak apa-apa dengan satu syarat, yaitu seseorang tidak mengambil
riba darinya sebab mengambilnya adalah haram hukumnya.
Sumber :
Sumber :
Al-Fatawa
Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 25-26 Darul Haq
Fatwa
Syaikh Shalih Al Fauzan :
Pertanyaan
:
“Saya bekerja pada sebuah bank dan
ketika saya sudah keluar, barulah saya mengetahui bahwa harta yang telah saya
dapatkan darinya, semuanya adalah haram. Bila pernyataan ini benar, apa yang
mesti saya perbuat dengan uang tersebut; apakah saya sedekahkan atau
bagaimana?”
Kemudian
Beliau menjawab:
“Barangsiapa
yang mendapatkan harta yang haram dari hasil riba atau selainnya, kemudian dia
bertaubat darinya; maka hendaknya dia menyedekahkannya dan tidak memakannya.
Atau mengalokasikannya pada proyek kebajikan dengan tujuan untuk melepaskan
diri darinya, bukan untuk tujuan mendapatkan pahala sebab ia adalah harta yang
haram, sedangkan Allah Ta’ala adalah Maha Suci dan tidak menerima kecuali yang
suci (baik-baik). Akan tetapi, pemiliknya ini mengeluarkannya dari
kepemilikannya dan mengalokasikannya pada proyek kebajikan atau memberikannya
kepada orang yang membutuhkan karena ia (harta tersebut) ibarat harta yang
tidak bertuan yang dialokasikan untuk kemashlahatan. Ini semua dengan syarat,
dia menghentikan pekerjaan yang haram tesebut dan tidak terus menerus larut di
dalamnya.”
(al-Muntaqa
Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 137-138, No. 141)
Dalam
kesempatan yang lain, seseorang bertanya kepada Beliau,
“Saya
bekerja pada sebuah perusahaan yang mendapatkan fasilitas perbankan dari
bank-bank yang bertransaksi dengan riba sekitar 5% dari keuntungan perusahaan.
Bagaimana status hukum gaji saya dari perusahaan ini; apakah boleh saya bekerja
di sana?, mengingat mayoritas perusahaan-perusahan yang ada beroperasi dengan
cara ini.”
Maka
beliau menjawab:
“Bertransaksi
dengan riba haram hukumnya terhadap perusahaan-perusahaan,bank-bank dan
individu-individu. Tidak boleh seorang muslim bekerja pada tempat yang
bertransaksi dengan riba meskipun persentase transaksinya minim sekali sebab
pegawai/karyawan pada instansi-instansi dan tempat-tempat yang bertransaksi
dengan riba berarti telah bekerja sama dengan mereka diatas perbuatan dosa dan
melampaui batas. Orang-orang yang bekerja sama dan pemakan riba, sama-sama
tercakup dalam laknat yang disabdakan oleh Rasulullah: “Allah telah melaknat
pemakan riba, orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, pencatatnya serta
kedua saksinya dan pencatatnya”.(HR.Muslim)
Jadi
disini, Allah Ta’ala melaknat orang yang memberi makan dengan (hasil) riba,
saksi dan pencatat karena mereka bekerja sama dengan pemakan riba itu.
Karenanya
wajib bagi anda, wahai saudara penanya, untuk mencari pekerjaan yang jauh dari
hal itu. Allah Ta’ala (artinya): “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan menganugerahinya rizki
yang tidak dia sangka-sangka”.(Q,.s.ath-Thalaq: 2).
(Dan
sabda Nabi- red) artinya: “Dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena
Allah Ta’ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”.
(HR.Musnad Ahmad).
Penutup
Keberadaan perbankan Islam atau
yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank Syariah di Indonesia telah
diakui sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka.
Berkenaan dengan transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah juga telah
dikeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN).
Sumber : www.inlawnesia.net
| email: puf@inlawnesia.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar