Sabtu, 14 Januari 2012

Perkembangan Ekonomi Indonesia


22/11/2008
PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA
Krisis nilai tukar telah menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam sejak bulan Juli 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam triwulan ketiga dan triwulan keempat menurun menjadi 2,45 persen dan 1,37 persen. Pada triwulan pertama dan triwulan kedua tahun 1997 tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8,46 persen dan 6,77 persen. Pada triwulan I tahun 1998 tercatat pertumbuhan negatif sebesar -6,21 persen.
Merosotnya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah kondisi usaha sektor swasta yang makin melambat kinerjanya. Kelambatan ini terjadi antara lain karena sulitnya memperoleh bahan baku impor yang terkait dengan tidak diterimanya LC Indonesia dan beban pembayaran hutang luar negeri yang semakin membengkak sejalan dengan melemahnya rupiah serta semakin tingginya tingkat bunga bank. Kerusuhan yang melanda beberapa kota dalam bulan Mei 1998 diperkirakan akan semakin melambatkan kinerja swasta yang pada giliran selanjutnya menurunkan lebih lanjut pertumbuhan ekonomi, khususnya pada triwulan kedua tahun 1998. (grafik 1)
Sementara itu perkembangan ekspor pada bulan Maret 1998 menunjukkan pertumbuhan ekspor nonmigas yang menggembirakan yaitu sekitar 16 persen. Laju pertumbuhan ini dicapai berkat harga komoditi ekspor yang makin kompetitif dengan merosotnya nilai rupiah. Peningkatan ini turut menyebabkan surplus perdagangan melonjak menjadi 1,97 miliar dollar AS dibandingkan dengan 206,1 juta dollar AS pada bulan Maret tahun 1997. Impor yang menurun tajam merupakan faktor lain terciptanya surplus tersebut. Impor pada bulan Maret 1998 turun sebesar 38 persen sejalan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Sub Contents
Informasi Lainnya :

PERKEMBANGAN KEUANGAN NEGARA
Kondisi keuangan negara juga terpengaruh dengan adanya krisis ekonomi seperti yang tercermin dari realisasi APBN 1997/98. Realisasi penerimaan nonmigas sedikit lebih rendah dari yang direncanakan, karena tidak tercapainya sasaran penerimaan dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan bea masuk. Penerimaan dari ketiga sumber tersebut merosot pada semester II.
Sementara itu pada sisi pengeluaran terjadi lonjakan realisasi sekitar Rp 22 triliun. Kenaikan sebesar Rp 10 triliun berasal dari meningkatnya pembayaran pokok dan bunga hutang luar negeri, belanja barang luar negeri, dan belanja lain-lain (subsidi bahan bakar minyak). Penyebab kenaikan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah yang mencapai sekitar 75 persen selama semester II tahun 1997/98.
Dengan perkembangan tersebut di atas, tabungan pemerintah tahun 1997/98 sedikit berkurang dari yang direncanakan, yaitu sekitar Rp 23,6 triliun. Dalam APBN 1998/99 tabungan pemerintah diharapkan mencapai Rp 17,1 triliun.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat dalam tahun 1998 telah dipertimbangkan dalam APBN1998/99. Pada sisi penerimaan dalam negeri, pengaruh krisis ekonomi tercermin dari perkiraan menurunnya penerimaan dari pajak penghasilan. Sumber penerimaan bukan pajak yaitu berupa penjualan saham BUMN sebesar Rp 14,3 triliun diharapkan mampu menutup kemungkinan penurunan penerimaan dari pajak. (gambar 4)


Pada sisi pengeluaran negara, beban pembayaran hutang luar negeri mencapai lebih dari sepertiga pengeluaran rutin dalam APBN 1998/99. Sebagai akibatnya terjadi pengurangan alokasi untuk pos yang lain. Pembayaran hutang dan pengeluaran rutin lainnya, yang sebagian besar merupakan subsidi BBM, diperkirakan realisasinya lebih besar dengan nilai tukar rupiah yang tetap merosot. Jika hal ini terjadi maka ak an lebih memperkecil tabungan pemerintah yang merupakan sumber pembiayaan rupiah. Untuk mengantisipasi hal ini maka diperlukan bantuan luar negeri berupa bantuan program yang memungkinkan penggunaannya dalam rupiah. Pada tahun anggaran 1998/99 diperoleh bantuan program sebesar Rp 8,5 triliun. Jenis bantuan ini terakhir diperoleh pemerintah pada tahun 1992/93. (gambar 5)

Jumlah anggaran pembangunan yang terbatas dalam tahun 1998/99 diharapkan berperan besar dalam mencapai prioritas utama kabinet reformasi pembangunan, yaitu (1) ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan dan kebutuhan pokok masyarakat, dan (2) berputarnya kembali roda perekonomian nasional. Perkembangan masalah ekonomi yang berbeda dengan perkiraan pada waktu penyusunan APBN, mendorong perlunya peninjauan kembali alokasi anggaran menurut sektor-sektor pembangunan. Selain sektor yang berkaitan erat dengan penyediaan sembilan bahan pokok, seperti subsektor pertanian bahan pangan, maka sektor yang membangkitkan lapangan kerja perlu menjadi prioritas pula, seperti sektor industri kerajinan rakyat. (Bob)
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi dalam tahun 1998 diperkirakan akan mencapai tingkat yang tertinggi sejak tahun 1970. Perkiraan ini berdasarkan pencapaian inflasi sebesar 35,07 persen selama periode Januari - Mei 1998. Angka inflasi yang relatif tinggi tercatat sebesar 33,3 persen pada tahun 1974.
Berdasarkan tingkat inflasi dan bobotnya maka kelompok bahan makanan merupakan penyumbang inflasi terbesar selama lima bulan terakhir ini. Dalam kelompok ini tercatat beberapa jenis komoditi yang memberikan sumbangan besar terhadap inflasi, seperti bawang merah, tomat sayur, ikan segar, telur ayam ras, beras, dan minyak goreng. Namun demikian kenaikan harga dalam kelompok ini memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun.
Kenaikan harga yang terjadi pada kelompok transportasi dan komunikasi kasi sebesar 17,25 persen pada bulan Mei 1998 diperkirakan dapat mendorong laju inflasi yang relatif tinggi pada bulan mendatang. Kenaikan biaya transportasi ini merupakan akibat langsung dari kenaikan harga bahan bakar minyak.

Januari
Februari
Maret
April
Mei
Umum
6,88
12,76
5,49
4,70
5,24
Bahan makanan
10,15
16,07
5,42
6,80
3,90
Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau
5,14
15,95
7,15
7,68
4,00
Perumahan
3,64
10,03
3,50
2,29
4,14
Sandang
12,56
15,62
12,50
4,34
4,53
Kesehatan
8,79
19,93
4,63
5,29
2,40
Pendidikan, rekreasi, dan olahraga
3,72
8,42
2,18
1,50
1,41
Transportasi dan komunikasi
5,84
5,81
1,59
4,94
17,25
PERKEMBANGAN MONETER
Pertumbuhan tahunan likuiditas perekonomian (M2) dalam triwulan pertama tahun 1998 mencapai rata-rata di atas 50 persen. Interpretasi kenaikan likuiditas ini harus dilakukan dengan cermat karena tidak mencerminkan adanya kondisi ekonomi yang sedang melesu. Jika diamati komponen deposito berjangka dalam dollar yang cenderung menurun sejak bulan Agustus 1997, maka merosotnya nilai tukar Rupiah menjadi faktor utama kenaikan likuiditas perekonomian.
Lonjakan likuiditas perekonomian dalam situasi sektor riil yang lesu menyebabkan dorongan inflasi semakin kuat. Hal ini tercermin dari kenaikan inflasi yang mencapai 33,09 persen dalam periode  Januari - April 1998. Dalam rangka menekan inflasi selama tahun 1998, Bank Indonesia telah menyusun program keuangan. Pertumbuhan likuiditas perekonomian direncanakan 16 persen dalam tahun 1998. Target ini akan dicapai melalui pengendalian uang primer (M0), daripada dengan cara membatasi pemberian kredit.
Pengendalian uang primer antara lain dilakukan dengan cara mengaktifkan perdagangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Suku bunga SBI dipertahankan pada tingkat yang relatif tinggi di atas 20 persen sejak bulan Januari 1998. Suku bunga SBI kemudian ditingkatkan lagi pada tanggal 23 Maret 1998, misalnya SBI 1 bulan dari 22 persen menjadi 45 persen (dengan tingkat bunga efektif tahunan sebesar 55 persen). Pada giliran selanjutnya dengan suku bunga perbankan yang tinggi diharapkan dapat menahan kecenderungan meningkatnya aliran modal keluar.
Selain itu pengendalian uang primer dilakukan dengan mengelola secara berhati-hati aset domestik. Dalam triwulan pertama tahun 1998 uang primer bertambah sekitar Rp 13 triliun. Efek ekspansi terutama berasal dari revaluasi aset luar negeri dan tagihan kepada bank umum. Sedangkan efek kontraksi ditimbulkan melalui operasi pasar terbuka.
Intervensi terhadap pasar valuta asing juga akan dilakukan untuk menstabilkan nilai tukar. Skala intervensi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa jumlah cadangan devisa harus berada diatas sasaran bulanan maupun triwulanan. Pada akhir bulan April 1998 posisi cadangan devisa luar negeri bersih Bank Indonesia mencapai 14,3 miliar dollar AS yang berarti meningkat dibanding dengan posisi akhir Maret 1998 sebesar 13,2 miliar dollar AS.

Maret
April
Mei 1)
Uang primer
59.413
61.489
70.262
- uang kartal
45.096
44.820
46.579
- deposit bank di BI
13.270
15.749
22.736
Cadangan devisa bersih di BI *
92.256
100.165
102.841
Aktiva domestik bersih
-30.471
-37.702
-32.579
- tagihan pada pemerintah
-27.065
-27.624
-37.817
- tagihan pada BPPN
87.044
101.826
102.550
- kredit likuiditas
26.228
26.992
17.900
pada BULOG
15.155
15.598
6.403
- operasi pasar terbuka
-30.151
-45.302
-43.261
Tabel 2
* dengan kurs tetap Rp 7.000 per dollar AS
Penetapan sasaran cadangan devisa merupakan salah satu butir kesepakatan dalam Memorandum Tambahan antara Pemerintah Indonesia dengan IMF. Cadangan luar negeri bersih Bank Indonesia bersama-sama dengan aktiva domestik bersih disepakati menjadi indikator kinerja di bidang moneter.
Selain kedua indikator tersebut di atas, tagihan pada BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) juga merupakan indikator kinerja yang berkaitan dengan kondisi kesehatan perbankan. Tagihan pada BPPN cenderung meningkat sejak akhir bulan Maret 1998, yaitu dari posisi Rp 87,0 triliun menjadi Rp 102,6 triliun pada minggu ketiga bulan Mei 1998. Hal ini menunjukkan masih cukup besarnya bantuan likuiditas yang diperlukan oleh perbankan yang berada dalam pengawasan BPPN.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar