22/11/2008
PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA
Krisis nilai tukar telah
menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot
tajam sejak bulan Juli 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam
triwulan ketiga dan triwulan keempat menurun menjadi 2,45 persen dan 1,37
persen. Pada triwulan pertama dan triwulan kedua tahun 1997 tercatat
pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8,46 persen dan 6,77 persen. Pada
triwulan I tahun 1998 tercatat pertumbuhan negatif sebesar -6,21 persen.
Merosotnya pertumbuhan
ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah kondisi usaha sektor swasta yang
makin melambat kinerjanya. Kelambatan ini terjadi antara lain karena sulitnya
memperoleh bahan baku impor yang terkait dengan tidak diterimanya LC
Indonesia dan beban pembayaran hutang luar negeri yang semakin membengkak
sejalan dengan melemahnya rupiah serta semakin tingginya tingkat bunga bank.
Kerusuhan yang melanda beberapa kota dalam bulan Mei 1998 diperkirakan akan
semakin melambatkan kinerja swasta yang pada giliran selanjutnya menurunkan
lebih lanjut pertumbuhan ekonomi, khususnya pada triwulan kedua tahun 1998.
(grafik 1)
Sementara itu
perkembangan ekspor pada bulan Maret 1998 menunjukkan pertumbuhan ekspor
nonmigas yang menggembirakan yaitu sekitar 16 persen. Laju pertumbuhan ini
dicapai berkat harga komoditi ekspor yang makin kompetitif dengan merosotnya
nilai rupiah. Peningkatan ini turut menyebabkan surplus perdagangan melonjak
menjadi 1,97 miliar dollar AS dibandingkan dengan 206,1 juta dollar AS pada
bulan Maret tahun 1997. Impor yang menurun tajam merupakan faktor lain
terciptanya surplus tersebut. Impor pada bulan Maret 1998 turun sebesar 38
persen sejalan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.
Sub Contents
•
2. Perkembangan
Inflasi
•
3. Perkembangan
Moneter
Informasi Lainnya :
|
PERKEMBANGAN
KEUANGAN NEGARA
Kondisi keuangan negara juga terpengaruh dengan adanya krisis
ekonomi seperti yang tercermin dari realisasi APBN 1997/98. Realisasi penerimaan
nonmigas sedikit lebih rendah dari yang direncanakan, karena tidak tercapainya
sasaran penerimaan dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN),
dan bea masuk. Penerimaan dari ketiga sumber tersebut merosot pada semester II.
Sementara itu pada sisi pengeluaran terjadi lonjakan
realisasi sekitar Rp 22 triliun. Kenaikan sebesar Rp 10 triliun berasal dari
meningkatnya pembayaran pokok dan bunga hutang luar negeri, belanja barang luar
negeri, dan belanja lain-lain (subsidi bahan bakar minyak). Penyebab kenaikan
ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah yang mencapai sekitar 75 persen selama
semester II tahun 1997/98.
Dengan perkembangan tersebut di atas, tabungan pemerintah
tahun 1997/98 sedikit berkurang dari yang direncanakan, yaitu sekitar Rp 23,6
triliun. Dalam APBN 1998/99 tabungan pemerintah diharapkan mencapai Rp 17,1
triliun.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat dalam tahun 1998 telah
dipertimbangkan dalam APBN1998/99. Pada sisi penerimaan dalam negeri, pengaruh
krisis ekonomi tercermin dari perkiraan menurunnya penerimaan dari pajak
penghasilan. Sumber penerimaan bukan pajak yaitu berupa penjualan saham BUMN
sebesar Rp 14,3 triliun diharapkan mampu menutup kemungkinan penurunan
penerimaan dari pajak. (gambar 4)
Pada sisi pengeluaran negara, beban pembayaran hutang luar
negeri mencapai lebih dari sepertiga pengeluaran rutin dalam APBN 1998/99.
Sebagai akibatnya terjadi pengurangan alokasi untuk pos yang lain. Pembayaran
hutang dan pengeluaran rutin lainnya, yang sebagian besar merupakan subsidi
BBM, diperkirakan realisasinya lebih besar dengan nilai tukar rupiah yang tetap
merosot. Jika hal ini terjadi maka ak an lebih memperkecil tabungan pemerintah
yang merupakan sumber pembiayaan rupiah. Untuk mengantisipasi hal ini maka
diperlukan bantuan luar negeri berupa bantuan program yang memungkinkan
penggunaannya dalam rupiah. Pada tahun anggaran 1998/99 diperoleh bantuan
program sebesar Rp 8,5 triliun. Jenis bantuan ini terakhir diperoleh pemerintah
pada tahun 1992/93. (gambar 5)
Jumlah anggaran pembangunan yang terbatas dalam tahun 1998/99
diharapkan berperan besar dalam mencapai prioritas utama kabinet reformasi
pembangunan, yaitu (1) ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan dan
kebutuhan pokok masyarakat, dan (2) berputarnya kembali roda perekonomian
nasional. Perkembangan masalah ekonomi yang berbeda dengan perkiraan pada waktu
penyusunan APBN, mendorong perlunya peninjauan kembali alokasi anggaran menurut
sektor-sektor pembangunan. Selain sektor yang berkaitan erat dengan penyediaan
sembilan bahan pokok, seperti subsektor pertanian bahan pangan, maka sektor
yang membangkitkan lapangan kerja perlu menjadi prioritas pula, seperti sektor
industri kerajinan rakyat. (Bob)
PERKEMBANGAN
INFLASI
Inflasi dalam tahun 1998 diperkirakan akan mencapai tingkat
yang tertinggi sejak tahun 1970. Perkiraan ini berdasarkan pencapaian inflasi
sebesar 35,07 persen selama periode Januari - Mei 1998. Angka inflasi yang
relatif tinggi tercatat sebesar 33,3 persen pada tahun 1974.
Berdasarkan tingkat inflasi dan bobotnya maka kelompok bahan
makanan merupakan penyumbang inflasi terbesar selama lima bulan terakhir ini.
Dalam kelompok ini tercatat beberapa jenis komoditi yang memberikan sumbangan
besar terhadap inflasi, seperti bawang merah, tomat sayur, ikan segar, telur
ayam ras, beras, dan minyak goreng. Namun demikian kenaikan harga dalam
kelompok ini memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun.
Kenaikan harga yang terjadi pada kelompok transportasi dan
komunikasi kasi sebesar 17,25 persen pada bulan Mei 1998 diperkirakan dapat
mendorong laju inflasi yang relatif tinggi pada bulan mendatang. Kenaikan biaya
transportasi ini merupakan akibat langsung dari kenaikan harga bahan bakar
minyak.
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Mei
|
Umum
|
6,88
|
12,76
|
5,49
|
4,70
|
5,24
|
Bahan makanan
|
10,15
|
16,07
|
5,42
|
6,80
|
3,90
|
Makanan jadi, minuman,
rokok dan tembakau
|
5,14
|
15,95
|
7,15
|
7,68
|
4,00
|
Perumahan
|
3,64
|
10,03
|
3,50
|
2,29
|
4,14
|
Sandang
|
12,56
|
15,62
|
12,50
|
4,34
|
4,53
|
Kesehatan
|
8,79
|
19,93
|
4,63
|
5,29
|
2,40
|
Pendidikan, rekreasi,
dan olahraga
|
3,72
|
8,42
|
2,18
|
1,50
|
1,41
|
Transportasi dan
komunikasi
|
5,84
|
5,81
|
1,59
|
4,94
|
17,25
|
PERKEMBANGAN
MONETER
Pertumbuhan tahunan likuiditas perekonomian (M2) dalam
triwulan pertama tahun 1998 mencapai rata-rata di atas 50 persen. Interpretasi
kenaikan likuiditas ini harus dilakukan dengan cermat karena tidak mencerminkan
adanya kondisi ekonomi yang sedang melesu. Jika diamati komponen deposito
berjangka dalam dollar yang cenderung menurun sejak bulan Agustus 1997, maka
merosotnya nilai tukar Rupiah menjadi faktor utama kenaikan likuiditas
perekonomian.
Lonjakan likuiditas perekonomian dalam situasi sektor riil yang
lesu menyebabkan dorongan inflasi semakin kuat. Hal ini tercermin dari kenaikan
inflasi yang mencapai 33,09 persen dalam periode Januari - April 1998. Dalam
rangka menekan inflasi selama tahun 1998, Bank Indonesia telah menyusun program
keuangan. Pertumbuhan likuiditas perekonomian direncanakan 16 persen dalam
tahun 1998. Target ini akan dicapai melalui pengendalian uang primer (M0),
daripada dengan cara membatasi pemberian kredit.
Pengendalian uang primer antara lain dilakukan dengan cara
mengaktifkan perdagangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Suku bunga SBI
dipertahankan pada tingkat yang relatif tinggi di atas 20 persen sejak bulan
Januari 1998. Suku bunga SBI kemudian ditingkatkan lagi pada tanggal 23 Maret
1998, misalnya SBI 1 bulan dari 22 persen menjadi 45 persen (dengan tingkat
bunga efektif tahunan sebesar 55 persen). Pada giliran selanjutnya dengan suku
bunga perbankan yang tinggi diharapkan dapat menahan kecenderungan meningkatnya
aliran modal keluar.
Selain itu pengendalian uang primer dilakukan dengan
mengelola secara berhati-hati aset domestik. Dalam triwulan pertama tahun 1998
uang primer bertambah sekitar Rp 13 triliun. Efek ekspansi terutama berasal
dari revaluasi aset luar negeri dan tagihan kepada bank umum. Sedangkan efek
kontraksi ditimbulkan melalui operasi pasar terbuka.
Intervensi terhadap pasar valuta asing juga akan dilakukan
untuk menstabilkan nilai tukar. Skala intervensi tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan bahwa jumlah cadangan devisa harus berada diatas sasaran
bulanan maupun triwulanan. Pada akhir bulan April 1998 posisi cadangan devisa
luar negeri bersih Bank Indonesia mencapai 14,3 miliar dollar AS yang berarti
meningkat dibanding dengan posisi akhir Maret 1998 sebesar 13,2 miliar dollar
AS.
|
Maret
|
April
|
Mei 1)
|
Uang primer
|
59.413
|
61.489
|
70.262
|
- uang kartal
|
45.096
|
44.820
|
46.579
|
- deposit bank di BI
|
13.270
|
15.749
|
22.736
|
Cadangan devisa bersih
di BI *
|
92.256
|
100.165
|
102.841
|
Aktiva domestik bersih
|
-30.471
|
-37.702
|
-32.579
|
- tagihan pada
pemerintah
|
-27.065
|
-27.624
|
-37.817
|
- tagihan pada BPPN
|
87.044
|
101.826
|
102.550
|
- kredit likuiditas
|
26.228
|
26.992
|
17.900
|
pada BULOG
|
15.155
|
15.598
|
6.403
|
- operasi pasar terbuka
|
-30.151
|
-45.302
|
-43.261
|
Tabel 2
* dengan kurs tetap Rp
7.000 per dollar AS
Penetapan sasaran cadangan devisa merupakan salah satu butir
kesepakatan dalam Memorandum Tambahan antara Pemerintah Indonesia dengan IMF.
Cadangan luar negeri bersih Bank Indonesia bersama-sama dengan aktiva domestik
bersih disepakati menjadi indikator kinerja di bidang moneter.
Selain kedua indikator tersebut di atas, tagihan pada BPPN
(Badan Penyehatan Perbankan Nasional) juga merupakan indikator kinerja yang
berkaitan dengan kondisi kesehatan perbankan. Tagihan pada BPPN cenderung
meningkat sejak akhir bulan Maret 1998, yaitu dari posisi Rp 87,0 triliun
menjadi Rp 102,6 triliun pada minggu ketiga bulan Mei 1998. Hal ini menunjukkan
masih cukup besarnya bantuan likuiditas yang diperlukan oleh perbankan yang
berada dalam pengawasan BPPN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar