PERGULATAN
panjang terjadi dalam tubuh musik keroncong. Kaidah-kaidah musik keroncong
dinilai tidak luwes menghadapi perkembangan zaman. Ujung-ujungnya musik
keroncong mengalami kemerosotan. Karya-karya baru lagu keroncong sulit
ditemukan. Dari ajang pergulatan itu tampillah irama campur sari sebagai
‘pemenang’.
Dalam
sepuluh tahun terakhir ini irama campur sari telah berkembang pesat sampai ke
manca negara. Anton Issoedibyo berani mengatakan, “Tanpa campur sari grup musik
kita tidak diminati di Hongkong.” Issoedibyo bukan pengibar jenis musik ini. Ia
adalah haji-cum-dokter penganut pop manis yang sering masuk-keluar arena
festival lagu pop di dalam dan luar negeri. Artinya pengamatannya itu jujur.
Para peminat campur sari itu adalah para pekerja Indonesia asal Jawa yang merasa
terobati rindunya kepada kampung halaman setelah mendengar musik campur sari di
luar negeri.
Pergulatan
itu konon dimulai oleh mendiang S. Dharmanto. Pada 1972. ia sudah menggubah
lagu-lagu langgam Jawa dengan memasukkan instrumen saron (dari unsur kerawitan).
Gubahan itu terdapat dalam lagu-lagu Wanito Utomo, Sekar Mawar dan Potretmu.
Ketiga lagu itu terekam dalam album Potretmu produksi Lokananta tahun 1973.
Dalam album ini Gesang juga ikut menyumbang dua lagu masing-masing Ngelam-lami
dan Andum Basuki dan Andjar Any menyumbang lagu Yen ing Tawang, Nyidam Sari dan
Eling-eling yang dibuat jauh sebelum itu.
Penjelasan
ini diberikan Andjar Any (65) kepada saya di rumahnya di Solo akhir September
lalu. Diperlihatkannya sebuah piringan hitam long play yang berisi rekaman itu.
Any telah
membuat lagu langgam Jawa sejak Presiden Soekarno menolak lagu-lagu barat yang
diistilahkan sebagai ngak-ngik-ngok. Namun niat itu baru terlaksana pada awal
1970-an lewat lagu karangannya yang berjudul Entit. Di luar ternyata banyak
pengarang melakukan hal yang sama. Setelah itu ia menggubah lagu Jangkrik
Genggong. “Di sinilah lagu-lagu langgam jawa mulai terangkat meski belum bisa
menyamai – apalagi menyaingi – popularitas lagu-lagu barat,” katanya.
Meski
terlambat jauh, beberapa komponis lain melanjutkan jejak Dharmanto. Pada 1976 –
1978. Radio Orkes Semarang, dan Orkes Bintang Surakarta mulai membuat aransemen
lagu langgam jawa yang dicampur dengan peralatan gamelan. Lagu-lagu yang mereka
hasilkan pun telah direkam antara lain oleh perusahaan rekaman IRA Record di
Semarang. Namun istilah campur sari pada waktu itu belum dipergunakan.
“Pada 1989
Manthous membuat rekaman lagu-lagu jawa yang disebut sebagai Campur Sari Gunung
Kidul (CSGK). Di situ ia memasukkan instrumen organ atau kibor, saron, dan
kendang sebagai ciri khasnya. Ternyata masyarakat menyukai,” kata Andjar Any
yang berjuluk Begawan Langgam Jawa. “Ia mempunyai ciri tertentu dan tekun
menggarapnya,” ujarnya mengenai kunci sukses Manthous. Julukan itu diberikan oleh
teman-temannya sekomunitas, antara lain dalang Joko Edan dan penyair N. Sakdani
Darmopamujo setahun lalu.
Pada
gilirannya julukan itu dia gunakan sebagai judul buku keduanya setebal seratus
halaman yang bulan depan direncanakan sudah dapat beredar. Setahun yang lalu
buku pertamanya telah beredar dengan judul ‘Cara Mencipta Lagu Merdu’. Lelaki
kelahiran Ponorogo 3 Maret 1936 ini mulai mencipta lagu pada 1960 berjudul Wong
nDeso. Lagunya yang paling populer, Yen Ing Tawang dibuat tahun 1964. Lagu ini
telah direkam berkali-kali sampai ia lupa. “Pokoknya dapat duit,” katanya
renyah. Sepanjang hidupnya ia mengaku telah membuat 2.000-an lagu, namun yang
ngetop ada sekitar seratus lagu., antara lain Wedang Ronde, E Jamune, Jangkrik
Genggong, Iki Weke Sopo, Nyidam Sari, Nonong, dan lain-lain.
“Saya sangat
antusias dengan irama campur sari,” katanya. Sebagai pengarang lagu dan
konduktor musik rekaman ia memberikan batasan bahwa yang disebut irama campur
sari adalah langgam jawa tapi notasinya campur sari, bisa pelog bisa slendro.
Sedangkan keroncong iramanya diatonis, notasinya sesuai dengan pakem yang ada,
dan dengan bar sebanyak 32.
Campur sari
menurut Any merupakan hasil perjalanan langgam Jawa. “Seperti air mengalir
kadang ia bercampur dengan bermacam-macam kotoran. Tetapi setelah mengendap ia
menghasilkan sesuatu yang baru,” ujarnya mengenai proses kelahiran campur sari.
“Oleh karena itu biarkan dia mengalir dan jangan coba-coba menghalangi.”
“Kehadiran
campur sari adalah merupakan kerinduan para pemusik keroncong terhadap sesuatu
yang baru,” kata Andjar Any. Tak ada seorang (pemusik) pun yang mengharapkan
adanya campuran semacam campur sari karena mereka punya selera sendiri-sendiri.
Bahwa kemudian muncul campur sari, “Itulah hikmah kehidupan sehingga patut disyukuri.”
Meski banyak lagu-lagu karangannya dibawakan dengan irama campur sari namun Any
mengaku tidak ikut dalam arus campur sari, “Saya hanya tut wuri.”
MANTHOUS
datang pada waktu yang tepat sehingga campur sari identik dengan dirinya.
“Dialah dalang dan aktor campur sari,” kata Is Haryanto yang saya temui di
rumahnya. Is Haryanto adalah penyanyi-cum-pencipta lagu Favourite Group
pimpinan mendiang Aloysius Riyanto. Ia juga banyak membuat lagu-lagu pop
berbahasa jawa, antara lain Kasmaran yang dinyanyikan Didi Kempot.
Menurut
kakek dua orang cucu ini campur sari sebenarnya telah dikenal sejak lama, namun
waktu itu belum mendapat label campur sari. Sepengetahuannya, “Orang-orang
keroncong sudah banyak melakukan eksperimen atau percobaan memasukkan unsur
gamelan kedalam keroncong. Tetapi percobaan demi percobaan itu sifatnya hanya
sambil lalu dan iseng-iseng sehingga ya hilang begitu saja dan tidak ada
bekasnya.”
Manthous
menurut Haryanto adalah pemain cello pada Orkes Keroncong Bintang Jakarta
pimpinan almarhum BJ Soepardi. “Cukup lama ia bergabung di situ sehingga amat
berpengalaman memainkan alat tersebut,” tuturnya. Pengalaman itu memberinya
peluang untuk memadukan instrumen kendang kedalam irama langgam keroncong.
“Rupanya dia tidak puas dengan fungsi cello dan menggantinya dengan kendang,”
tambahnya.
Ketika
bekerja sebagai juru rekam di Musica Studio, Jakarta, pada penghujung 1970-an
Manthous berkenalan dengan A. Riyanto yang waktu itu sering rekaman di studio
itu. Perkenalan itu pada gilirannya membawa Manthous masuk ke studio milik
Riyanto di kawasan Cipete, pada awal 1990-an. “Waktu itu saya pernah melihat
Manthous menggotong kendang dan bonang ke rumah Keliek,” tutur Haryanto lagi.
Keliek adalah panggilan akrab Riyanto. Kendang dan bonang adalah instrumen gamelan
yang berfunsgi sebagai tetabuhan. “Rupanya itulah saat-saat pertama kali
Manthous memulai eksperimen – yang kemudian dikenal sebagai — campur sari,”
kenang Haryanto.
Percobaan
itu dilakukan berulang-ulang dan makan waktu lama. “Setelah itu ia agaknya
pulang ke Wonosari, Gunung Kidul dan saya tidak punya kontak lagi dengan dia,”
tambah Haryanto. “Tak lama kemudian album-albumnya mengalir dari Jawa Tengah.”
Baik Keliek
maupun Is Haryanto tak pernah ikut campur dalam usaha Manthous meski dilakukan
di rumah Keliek. Dua tahun kemudian Keliek meninggal pada 1992. Belakangan
Manthous menganggap Keliek sebagai gurunya dalam hal memenuhi selera penggemar.
Guru lainnya adalah BJ Budiman terutama dalam membuat aransemen lagu dan
menggarap ilustrasi musik untuk film. Bing Slamet juga dianggapnya sebagai guru
dalam hal kejujuran dan kedisiplinan dalam berkarya.
“Saya
cenderung menganggap campur sari sebagai sempalan,” kata Is Haryanto lagi.
Sebagai sempalan ia hanya mempunyai dua kemungkinan, jadi atau hancur. “Manthous
berhasil mengangkat sempalannya itu sehingga dikenal masyarakat Jawa,”
imbuhnya.
Tak jauh
berbeda dengan itu, Endang Sulastri menyebutkan, bahwa sifat sempalan adalah
harus mampu menyuguhkan format baru yang menarik minat orang banyak. Format itu
adalah campuran suara gamelan dengan suara-suara gitar, drum, dan kibor,
sehingga terjelma musik campur sari yang dinamis.
Sulastri
(35) adalah pimpinan grup campur sari paling top di Jawa Timur, Mboyak namanya.
Mantan waranggono wayang kulit ini telah tujuh tahun memimpin grupnya dan
memiliki penggemar setia, yaitu kaum bapak ibu yang gandrung gending-gending
Jawa Tengahan. Sedemikan populernya grup ini sehingga baru bisa istirahat hanya
pada bulan Puasa dan bulan Suro (bulan pertama kalender Jawa). Ia pernah
bergabung dengan Manthous dan memisahkan diri pada 1995. Sejak itu ia
mengibarkan bendera Mboyak dari tanah kelahirannya, Ngawi.
“Garapan
musik dan lagunya tidak monoton, ya pop, dangdut, dan kalau perlu jaipongan,”
tutur Sulastri lagi. Hal ini diamini oleh Juhartono (43) asal Semarang. “Campur
sari identik dengan irama pentatonik yang mampu mengolah lagu-lagu dengan
cengkok Jawa dengan menggunakan instrumen gamelan,” tuturnya.
Jujuk Eksa
adalah panggilan akrab putra dalang Ki Rajak Pramono asal Boyolali. Ia dikenal
sebagai pemusik/komposer/arranger irama keroncong-dangdut (congdut). Di
tangannya nama Didi Kempot, mantan pengamen di jalan Slipi (Jakarta) meroket ke
papan atas lewat lagu-lagu Setasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, Nunut Ngeyup,
Plong, Dudu Rojo, Manis Madu, Lingsir Wengi dan lain-lain.
“Campur sari
sebenarnya telah muncul sejak 1960-an. Tapi herannya kok baru dikenal luas pada
1995,” tutur Jujuk Eksa. Pada tahun itulah Manthous mengibarkan bendera CSGK
(Campur Sari Gunung Kidul) lewat album Konco Tani. Ternyata sukses besar
menantinya. Sejak itu namanya identik dengan irama campur sari.
Secara tak
langsung Mus Mulyadi membenarkan hal tersebut. “Tahun 1976 saya sudah rekaman
campur sari, tetapi pakai nama pop Jawa,” katanya. Judulnya Kidang Talon dan
Gambang Suling. Ia pun pernah diiringi Manthous pada 1995-an tatkala merekam
lagu Kembang Aren dan Kempling. Untuk lagu yang terakhir itu ia berduet dengan
penyanyi senior asal Solo, Waljinah.
Pertengahan
tahun lalu ketika meluncurkan album Yo Embuh Yo Mulyadi baru merasa puas
terhadap irama campur sari yang mengiringinya. “Yang dulu asal kedengaran
gendang dan sulingnya saja, yang sekarang benar-benar suara campur sari,”
tukasnya. Oleh karena itu ia menolak dianggap ikut-ikutan nyanyi campur sari
Ketepatan
kehadiran Manthous dengan campur sarinya itu juga diamini oleh Rahayu
Supanggah, dosen Sekolah Ttinggi Seni Indonesia (STSI) Solo. Dalam sebuah
sarasehan campur sari di Bantul, Yogyakarta ia mengaku mengamati kehadiran
campur sari yang awalnya dicemooh tapi akhirnya digemari masyarakat luas. Ini
pertanda bahwa campur sari dapat menangkap aspirasi kawula muda dan orang tua
sebagai musik yang tetap berpijak pada tradisi dan mudah dipahami masyarakat.
“Campur sari bisa memaknai konsep seni adiluhung yang perlu dilestarikan secara
dinamis,” kata doktor yang satu ini.
“Campur sari
adalah langgam jawa yang awalnya ditambahi kendang.” Ini pendapat S. Maryo (65)
seorang pengamat musik keroncong asal Solo yang saya temui di rumah anak
sulungnya di Bekasi awal Agustus lalu. “Manthous kemudian mengembangkannya
dengan menambah drum, kibor, dan gitar elektrik agar semua lagu bisa masuk.
Tapi dia membatasi hanya pada lagu pentatonis karena lagu diatonis
harmonisasinya kurang pas,” katanya.
Penggantian
cello dengan kendang itu pada gilirannya diikuti dengan penggantian bas dengan
gong. Dengan demikian Maryo cenderung menganggap campur sari sebagai
pengembangan, bukan sempalan, apalagi pemberontakan.
Maryo pada
tahun 1960-an dikenal masyarakat Solo sebagai pemain bas dan drum band Ganesha.
Ini merupakan band paling top masa itu di kota Bengawan meski sifatnya
amatiran. Dua band lainnya adalah Band Boys dan band anak sekolahan, Double
Six. Ia pernah menghasilkan sebuah lagu hit, Ulasan Kasih di Senja Biru yang
direkam Brury Pesulima puluhan tahun kemudian.
Menurut
Maryo pengembangan langgan jawa sebenarnya sudah berlangsung lama, “Tetapi
Manthous datang pada saat yang tepat untuk memproklamasikan campur sari
sehingga identik dengan dirinya.” Dengan demikian Maryo yakin pada masa depan
akan hadir Manthous-Manthous berikutnya yang mampu mengembangkan langgam Jawa
yang sesuai dengan kondisi jamannya.
Seorang
sinden asal Sragen yang menjadi waranggono dalang Ki Anom Suroto kemudian
menjelma menjadi pelantun campur sari. Sunyahni (35) nama sinden itu, meraih
popularitas sebagai penyanyi lewat kancahnya campur sari. Lewat penanganan
Manthous namanya menanjak cukup terjal. Album Ojo Sembrono yang diluncurkan
pada 1995 konon terjual cukup signifikan sehingga ia mendapat bonus mobil
Panther dan Lancer untuk Manthous.
Koko Thole
adalah nama lain yang cukup berhasil mengarungi irama campur sari. Lewat album
Jaman Edan namanya juga menjadi terkenal. Ia ikut merasakan nikmatnya musik
campur sari. “Setiap bulan pasti hadir dua-tiga album baru campur sari,”
katanya. Akibatnya kehadiran campur sari juga menggugah pertumbuhan industri
rekaman lokal. Selain di Solo, Yogya, dan Semarang album campursari itu juga
dihasilkan dari kota-kota yang lebih kecil lagi seperti Klaten.
Pada
gilirannya Sunyahni juga membuka usaha rekaman sendiri di Yogyakarta. Namanya
Sunyah Record. Namun ia merujuk nama Jamus (Jawa Musik) untuk produk yang
dihasilkannya, bukan campur sari. Alasannya? Karena ia sudah tidak bersama lagi
dengan Manthous.
SUATU siang
di bilangan kompleks perumahan Bukit Pamulang Indah, Tangerang, Banten. Bersama
istri, dua anak, dan empat orang cucu. Manthous menghuni salah satu rumah
sederhana untuk kategori indah itu. Bulan lalu ia menikahkan anaknya yang nomor
tiga. Anaknya yang sulung tinggal di Wonosari dan yang bungsu bersekolah musik
di Yogya. Dinding ruang tamunya dihiasi dengan foto-foto kebanggaan Manthous
sebagai orang keroncong.
“Bapak
tinggal di sini sejak 1985,” kata Dian, putri kedua Manthous mewakili bapaknya.
Istrinya, Asih, tengah bersiap-siap menuju ke TVRI untuk tampil dalam acara
Gelatak-gelitik Campur sari. Ia menjadi vokalis grup campur sari Dian Irama dan
Cinde Laras yang sering mengisi acara di situ. Utasih Kusumowati dara kelahiran
Cimahi yang umurnya dua tahun lebih muda dari suaminya ini dulunya memang
penyanyi keroncong, “Karena diajak bapak,” tutur Dian lagi. Ia adalah putri
salah seorang personil grup keroncong tempat Manthous mencari pengalaman.
Mereka menikah pada 1972 dikaruniai empat anak. Ia pernah mengalahkan Sundari
Sukoco dan penyanyi keroncong papan atas lainnya pada final Pemilihan Bintang
Radio dan TVRI sekian tahun lalu.
Kondisi
Manthous (52) cukup memprihatinkan. Dia tidak bisa bicara. “Bulan Pebruari lalu
di Yogya bapak mendapat serangan stroke ringan,” tutur Dian lagi kepada saya.
Ia kemudian dirawat di rumah sakit Bethesda, Yogya, selama satu bulan. Atas
usul istri dan anak-anaknya ia dibawa pulang ke Jakarta dan kembali ke
Pamulang.
Sejak pulang
kampung pada 1990 ia lebih sering meninggalkan Jakarta karena kesibukannya
berkesenian dilakukan dari Wonosari. Dari situlah ia mengembangkan karir
musiknya sebagai ‘pengembang’ irama campur sari. Untuk menyalurkan ide-idenya
dia membangun studio musik yang terletak di pinggir jalan raya Playen. Studio rekaman
itu berdiri di atas tanah seluas dua ribu meter persegi. Di pintu gerbang masuk
diberi tulisan CSGK dan merupakan stuio rekaman paling modern di Yogya dan Jawa
Tengah. Kemampuan rekamnya 24 track, kini diurus Tatut, anak sulungnya.
“Tiap dua
hari bapak berobat alternatif di daerah Kalimalang,” tambah Dian lagi. Itu atas
saran Delly Rollies setelah menjenguknya beberapa saat setelah Manthous kembali
ke Pamulang. “Banyak teman-teman artis sudah menengok bapak, termasuk
orang-orang Harco,” lanjut Dian. Saya sendiri mengunjungi Manthous setelah
mendapat informasi dari Is Haryanto dan Tommy WS. “Tapi kamu harus siap kecewa
karena dia tidak bisa bicara,” pesan Haryanto kepada saya.
Kondisi
pisiknya sih lumayan bagus. Mengenakan T-shirt dan celana pendek ia menemui
saya duduk di ruang tamu. Tiap sebentar ia berdiri dan berjalan ke ruang dalam,
entah untuk apa. Di tangannya tergenggam rosario alias tasbih. Mulutnya komat
kamit namun tidak terdengar suara apapun. Ia tidak bisa bicara. Semua
pertanyaan saya diteruskan oleh Dian tapi tidak ada reaksi, begitu pula ketika
saya ajukan pertanyaan tertulis. Air matanya meleleh bila pertanyaan mengarah
kepada teman-teman atau lagu-lagunya. Dengan anggukan kepala ia membenarkan
pertanyaan saya apakah lagu-lagu campur sari yang dibuatnya berdasar langgam.
“Bapak
pernah diberitakan meninggal dunia,” tutur Dian.
“Keluarga
tidak marah?,” saya bertanya.
“Tidak,
malah ada berkahnya, sampai sekarang bapak masih hidup, mudah-mudahan panjang
umurnya,” jawab Dian sambil senyum.
“Tahun 1994
bapak membentuk grup campur sari dengan nama CSGK singkatan dari Campur Sari
Gunung Kidul,” kisah Dian. Personilnya terdiri dari Yunianto (kibor I), Prabowo
Pringgosangkoyo (kibor II), Heru Krisnanto (cuk), Minul (vokal), Yatno Ogo
(gong), Sarekan (tamburin), Harno (gendang), Tatun (saron I), Geter (saron II),
Dandum (gender), Warsono (siter), Totok (demung) dan Astuti (vokalis). Mereka
campuran pemusik otodidak dan mahasiswa Institut Seni Indonesia, Yogya.
Masih
menurut Dian: “Album pertama campur sari adalah Konco Tani antara laina berisi
lagu Gethuk dan Kangen.. Setahu saya rekaman album ini dilakukan di Jakarta.
Bapak kemudian menjual masternya ke studio Dasa Record di Semarang. Lagu ini
dirilis bersama lagu-lagu keroncong lainnya.” Ketika lagu itu menjadi terkenal
Manthous terpicu semangatnya dan berhamburanlah lagu-lagu berikutnya dari
tangannya. Salah satunya lagu Jeruk Garut yang pada gilirannya menghadirkan
hadiah suling mas dari ajang Anugerah Dangdut TPI tahun lalu.
Sekitar 50
judul lagu campur sari telah dihasilkan Manthous. Semua berbahasa Jawa antara
lain Mbah Dukun, Tahu Opo Tempe, Sido Opo Ora, Nginang Karo Ngilo, Lego, dan
Gelo. Ia juga mengaransir lagu Ini Rindu (Farid Hardja) dan Jamilah karangannya
sendiri kedalam irama campur sari.
DI TENGAH
teriknya mentari Yogyakarta saya meluncur ke Wonosari akhir September lalu.
Meski kota ini berlokasi di perbukitan kapur yang cukup terjal namun tidak
menawarkan udara sejuk. Jalan menuju ke sana sepanjang 40 kilometer ke arah
selatan cukup mulus dan ramai. Selepas dari kota Yogya, pemandangan yang
disajikan di sepanjang jalan adalah tanah kering bergumpal-gumpal. Hamparan
sawah yang tergelar berisi tumbuhan makanan ternak. “Anak-anak muda di sini
umumnya bekerja di kota,” tutur supir bis yang mengantar saya ke sana.
Sengatan
sinar matahari ternyata tidak memudarkan semangat juang Manthous yang bertekad
mengembangkan campur sari yang pernah dikenalnya pada 1970-an lewat kreasi S.
Dharmanto Dharmanto adalah pimpinan Orkes Keroncong Puspa Jelita di Semarang,
pencipta lagu dan penyanyi. Yang disebut terakhir ini telah memberikan gelar
juara Bintang Radio, sebuah event prestisius berskala nasional yang pernah
menjadi kebanggaan RRI . Dharmanto waktu itu menggabungkan peralatan keroncong
tradisional dengan gamelan, yaitu bas betot, celo, flute, biola ditambah siter.
Lagu yang dibawakan antara lain Yen Ing Tawang milik Andjar Any. Ternyata tidak
diminati masyarakat pendengarnya.
Manthous 20
tahun kemudian, yaitu pada pertengahan 1990-an, merombak susunan instrumen itu
sesuai dengan keinginannya, yaitu mengganti bas betot dengan bas gitar dan
cello diganti kendang. Tekad itu muncul sesudah ia berhasil meraih prestasi
luar biasa di Jakarta pada akhir dekade 1990-an. Nama Manthous telah menjadi
jaminan sukses ditingkat nasional. Lagu-lagu berikut ini telah menobatkan
namanya sebagai pengarang lagu yang andal: Sorga Neraka (dibawakan Hetty Koes
Endang), Jamilah (Leo Waldy dan kemudian Jamal Mirdad), Gethuk dan Nginang Karo
Ngilo (Nur Afni Oktavia), Setu Legi (Arie Wibowo) dan Kangen (Evie Tamala).
Berbagai penghargaan telah diraihnya, seperti HDX Award dan Golden Record
karena album yang berisi lagu-lagu itu terjual di atas 500 ribu keping. Dia
juga berhasil menguasai keterampilan sebagai operator rekaman.
Dalam perjalanan
eksperimennya itu Manthous kemudian menambah saron, siter, gender, demung,
gong, kibor, dan tamburin. Ia lantas mengumpulkan adik-adiknya yang telah
memiliki grup siteran di desanya. Bersama mereka ini Manthous — yang terampil
di bidang karawitan dan tembang jawa sejak kecil — mengadakan serangkaian
percobaan memadukan irama gamelan dan musik modern. Laras nada gamelan
disesuaikan dengan laras nada musik barat. Ini ternyata pekerjaan yang tidak
gampang karena ia tidak ingin merusak pakem tapi juga tidak ingin campur sari
jatuh menjadi semacam uyon-uyon karena dominannya unsur gamelan. Untuk itu
diperlukan adanya keseragaman nada dasar (laras) gamelan agar tinggi-rendahnya
suara penyanyi dapat dikontrol.
Meski dengan
penuh keraguan, campur sari garapannya akhirnya mendapat sambutan meriah dari
masyarakat. Album Konco Tani meraih sukses besar sehingga nama Manthous identik
dengan campur sari. Keraguan itu berasal dari dirinya sendiri. Dia tidak yakin
apakah kreasinya akan dapat diterima masyarakat, padahal ia telah menguras
kocek ketika rekaman dengan memboyong kru-nya ke Jakarta yang makan tempo
sekitar satu bulan. Itu sebabnya ia tidak berani segera menggandakan rekamannya
meski masih mengandalkan lagu lama seperti Gethuk dan Kangen, termasuk vokal Waljinah
sebagai pemanis. Album ini akhirnya dilempar ke pasar lewat Semarang, berkat
bantuan seorang temannya yang berani mengadu nasib. Alasannya karena semua
lagunya berbahasa jawa. Agaknya dibutuhkan kiat pula dalam hal pemasaran.
Album kedua,
Nyidam Sari ternyata lebih hebat lagi hasilnya. Konon sejuta keping terjual
dalam tempo singkat. Untung besar pun diraih sang teman sehingga ia mampu
membangun sebuah studio rekaman: Dasa Record. Pada gilirannya Manthous – lewat
penjualan lima album berikutnya — juga berhasil membangun studio rekaman di
Playen yang digunakan pula untuk latihan kesenian jawa masyarakat sekitarnya.
Di situ tersimpan peralatan musik gamelan dan band.
Tentu saja
Manthous mengalami keterbatasan dalam pengadaan lagu-lagu campur sari. Untuk
mengatasinya ia pernah menyelenggarakan festival campur sari. Dari ajang ini ia
mendapat bibit berkualitas seperti Yadi S dari Wonosobo, Sukisno dari Yogya,
dan dari adik-adiknya sendiri. Masalahnya sejak ia sakit hampir setahun ini,
menurut putri sulungnya, tidak ada rekaman musik campur sari. Selama itu,
“Sebagian besar lagu campur sari adalah karangan bapak saya,” kata Tatut
Ambarwati
Berkat
inovasinya itu Manthous yang nama aslinya Anto Sugiartono mendapat penghargaan
dari Persatuan Wartawan Indonesia cabang Yogyakarta tahun 2000
AWAL 2002
boleh jadi merupakan puncak kekhawatiran para pemusik keroncong melihat
perkembangan campur sari yang demikian pesat. Mereka meradang. Campur sari
dianggap sebagai pesaing dalam melestarikan nila-nilai musik keroncong asli,
tepatnya musuh dalam selimut. Awalnya mereka menganggap campur sari sebagai
musik kreasi baru yang berpangkal dari irama keroncong sehingga masa depan
keroncong tidak terganggu.
Solo, Sabtu
26 Januari 2002. Kalangan pemusik dan penggemar keroncong di kota itu berkumpul
membahas perkembangan musik keroncong asli yang dirasa sangat kendur. Mereka
terdiri dari artis dan para pencintanya yang tergabung dalam HAMKRI (Himpunan
Artis Musik Keroncong Indonesia) dan PPMKI (Paguyuban Pencinta Musik Keroncong
Indonesia) Hapsari.
“Saya merasa
sangat, sangat, sangat prihatin,” ucap Gesang kepada wartawan awal tahun ini.
Bukan tidak mungkin pernyataan mbah Gesang ini memicu pertemuan tersebut. Suara
ini mewakili masyarakat pencinta keroncong yang merasa keberadaannya di
masyarakat telah terdesak oleh kehadiran musik campur sari. Kondisi semacam itu
sangat dirasakan oleh para seniman dan praktisi musik keroncong dan langgam.
“Saya tidak
berani diiringi musik campur sari,” kata Gesang kepada saya di rumahnya di Solo
akhir bulan lalu. “karena suara saya tidak sampai.” Nada campur sari,
tambahnya, tidak dapat diturunkan karena terpaku pada nada gamelan. Akibatnya
tidak semua penyanyi bisa membawakan lagu-lagu campur sari. Buat Gesang campur
sari musiknya keras sehingga ia tidak dapat menikmatinya. Tetapi sebaliknya
masyarakat amat menyukainya karena meriah dan komplit. “Lagu-lagunya model
sekarang,” kata sesepuh keroncong ini.
Sutadi
adalah nama asli Gesang Martohartono yang lahir pada 1917 di kampung Kemlayan,
Solo. Pergantian nama itu karena sakit yang berkepanjangan di masa kecilnya. Di
tempat kelahirannya inilah Gesang kembali bermukim setelah berpindah-pindah
dari kampung Munggung (1940) dan kompleks perumnas Palur (1980). Pada 2001
adiknya minta ia kembali ke Kemlayan setelah menjalani operasi kencing batu
tahun sebelumnya. Di sini ia ditemani adiknya, Dahlan dan Rohaya. Keduanya juga
diganti namanya karena sakit-sakitan, dari Toyib dan Kayati.
Di mata
Gesang, campur sari tidak akan merusak atau menyingkirkan keberadaan langgam
keroncong. “Ini masalah selera kok, terserah masing-masing orang,” katanya
tegas. “Yang pengin campur sari ya monggo, ning sing tuwo-tuwo seneng sing
laras.”
Langgam jawa
yang dikembangkan Manthous menurut Gesang adalah langgam keroncong yang
syairnya berbahasa jawa. Ia juga merupakan pengembangan dari keroncong asli.
Disamping itu masih ada jenis musik lain yang disebut ‘stambul dua’. Dengan
demikian pasti ada ‘stambul satu’. Keroncong asli, sepengetahuan Gesang,
merupakan sinonimnya ‘stambul tiga’. Ini terkait dengan jumlah bar yang
dimiliki masing-masing stambul, yaitu 4 bar, 16 bar, dan 28 bar. Sedangkan
langgam keroncong itu bebas. Dengan demikian irama campur sari adalah langgam
jawa yang ditambah gamelan. Contoh masing-masing jenis itu adalah Yatim Piatu
(Keroncong Asli), Bengawan Solo, Tirtonadi, Saputangan, dan Jembatan Merah
(Langgam Keroncong), Yen Ing Tawang, Caping Gunung, Nawala (Langgam Jawa), Si
Baju Biru (Stambul Dua).
Selama 65
tahun berkarir di musik Gesang mengaku hanya melahirkan 25 lagu. Lagu
pertamanya, Keroncong Si Piatu (1938) disusul lagu kedua Roda Dunia pada tahun
berikutnya ketika pecah perang dunia kedua. Setelah itu muncullah lagu Bengawan
Solo (1940), Tirtonadi (1942), Saputangan (1941), Tirtonadi (1942), Jembatan
Merah (1943), Dongengan (1950), Nawala (1955), Caping Gunung (1975), Pamit
(1980), dan yang terakhir Urung (1990). “Semua lagu saya berdasar kenyataan,
bukan karangan kosong,” katanya.
Kesibukan
Gesang di usia ke-85 ini adalah namung tenguk-tenguk nganten meniko
(duduk-duduk seperti ini) disamping memelihara burung kacer abang (3 ekor) yang
telah dilakoninya sejak 1935 (30 ekor).
Kumpul-kumpul
itu tampaknya merupakan ‘reaksi’ atas terjadinya ekses negatif yang menimpa
musik campur sari. “Pentas campur sari di hajatan hampir selalu berakhir jam
tiga atau empat pagi, dan selalu terjadi gegeran,” kata Ary Mulyono, wakil
ketua HAMKRI. “Para penonton itu membawa miras sehingga cepat panas,”
ungkapnya. Penonton macam inilah yang sering melakukan keonaran di masyarakat.
Ini dianggap sebagai menodai kehadiran musik campur sari yang umumnya eksis di
pentas hajatan masyarakat pedesaan.
Pimpinan
Orkes Keroncong Bintang Surakarta ini mengaku memiliki data-data terjadinya
kerusuhan di sejumlah kampung yang selalu mengiringi pentas campur sari di
sekitar kota bengawan itu.
Ia menunjuk
unsur dangdut sebagai penyebab terjadinya ‘penyimpangan’ pada irama campur sari
terutama sejak 1990.
Reaksi
positif dari kumpul-kumpul hari itu adalah tampilnya ide penyelenggaraan Lomba Orkes
Keroncong pada Februari 2002. Maksudnya untuk menggugah minat masyarakat dan
para seniman keroncong terhadap musik keroncong. Pelaksanaannya dipegang
langsung oleh PPMKI didukung HAMKRI.
Hasilnya?
“Ada peningkatan kualitas yang cukup mengesankan,” kata Andjar Any. Itu
terlihat jelas dalam aransemen dan improvisasi sejumlah peserta lomba. Orkes
Keroncong Asmat dinilainya memiliki kemampuan anak muda. “Aransemennya amat
dinamis,” kesannya.
Andjar Any
yang dianggap sebagai pentolan langgam keroncong mengajak rekan-rekannya
sekomunitas untuk mawas diri. “Segala perubahan yang menyangkut musik keroncong
harus kita sikapi sebagai air yang mengalir,” katanya. “Apapun yang terjadi
anggap saja itu sebagai bagian dari proses perjalanan atau proses perkembangan
musik secara umum.”
Menurut Any
lahirnya campur sari adalah fitrah dari kreativitas dan kebebasan seni untuk
senantiasa melakukan pengembangan. Ia mengingatkan, bahwa campur sari tetap
menggunakan dasar-dasar langgam keroncong. “Bukankah yang kita kenal sebagai
musik keroncong asli itu dulunya tidak seperti itu.” Dia menilai apa-apa yang
terjadi belakangan ini, sebagai keroncong yang lebih dikembangkan.
Apabila
sebagian orang berharap ada pengembangan musik keroncong, maka pakem atau
kaidah dasar musik keroncong itulah yang harus dicairkan agar lebih luwes.
“Kita harus bersikap nut jaman kelakone. Biarlah musik berkembang sesuai
kehendak zaman.”
DALAM
pergumulan ini muncul suara yang lebih ekstrim. Mereka ini menyebut campur sari
sebagai bentuk ‘pemberontakan’ terhadap kesenian tradisonal jawa yang konon
mengalami stagnasi sehingga tidak mampu menghadapi perubahan jaman. Padahal
kesenian itu perlu dilestarikan secara dinamis. Itu sebabnya kehadiran campur
sari di blantika musik Indonesia dianggap sebagai laksana sebuah fenomena.
“Pemberontakan”
ini dilakukan secara sadar antara lain oleh dalang wayang orang Ki Joko Edan
alias Joko Hadi Widjojo (54). Julukan ‘edan’ konon berdasar kebiasaannya yang
selalu melawan kemapanan pakem-pakem pewayangan yang sudah mentradisi.
Persentuhannya dengan irama campur sari terutama setelah ia mempersunting
Nurhana (23) penyanyi campur sari yang telah menghasilkan 25 album rekaman. Ia
boleh dibilang primadonanya irama campur sari.
Di sini
naluri keedanan Joko mendapat saluran juga. Bertahun-tahun ia menjadi penikmat
dan penganjur campur sari. Ia telah meluncurkan album campur sari berjudul
Megat Tresno. Lagu-lagu karangannya terdengar aneh untuk kuping wong Jowo
seperti Kawin Benjang Menopo, Mendung Sore, Burisrowo Loro Jiwo; Nglali dan
Tong Kosong (dari Jujuk Eksa), Mister Mendem dan Genjer-genjer (dari Dikin).
Album ini ternyata cukup laris. “Setiap harinya laku seratus keping,” ujar Joko
kepada saya di rumahnya di Semarang akhir September lalu.
Menurut Joko
campur sari telah menenggelamkan musik-musik Jawa tanpa vokal (instrumentalia)
seperti klenengan dan karawitan dan menghidupkan kembali irama langgam Jawa
lawas seperti Kutut Manggung, Caping Gunung, Pangkur, Sinom, dan Uler Kambang.
Di rumahnya
di perbukitan Pudak Payung, Semarang, berbaris empat mobil yang diperolehnya
dari hasil bermain musik dan dalang: sebuah jip hardtop, dua unit VW Combi dan
sebuah BMW nopol B 612 DX. Yang terakhir itu dibelinya dari Dewi Yull, bahkan
nama kepemilikannya masih atas nama Dewi.
Ketika Minggu
siang itu saya datangi ia tengah bersiap-siap menuju studio TVRI Semarang
mengisi acara bertajuk campur sari. “Tiap hari Minggu sore saya dikontrak untuk
manggung di situ,” ujar Joko. Kontrak itu telah berjalan tiga bulan dan akan
diperpanjang tiga bulan lagi. “Saya sengaja mengikuti arus dolar,” ia
berkelakar. Ternyata sikap itu merupakan dasar penolakannya ketika akan
diperpanjang kontraknya selama setahun penuh. Dengan modal tujuh lagu ia
mengisi acara selama satu jam, dari jam 17.00 sampai 18.00 disiarkan secara
langsung. Ia dibayar Rp 8 juta.
“Tiga juta
rupiah untuk saya sebagai presenter dan selebihnya untuk tim saya.” Di luar TV
ia minta bayaran 12 juta rupiah.
Pada
1980-an, menurut Joko, orang punya hajat masih rame nanggap klenengan dan
keroncong. Tapi pada 1995-an situasi ini berubah total. Munculnya campur sari
telah merubah selera masyarakat dari yang serba kalem menjadi riuh. Ini
maknanya apa? Masyarakat dapat menerima kehadiran campur sari. Unsur klenengan
dan keroncong telah terserap kedalam campur sari karena lebih dinamis, mantap
tapi tidak meninggalkan gamelan. Ia multi kompleks karena mampu mempertemukan
musik diatonis dan pentatonis dengan sangat harmonis.
Ia sendiri
juga praktisi campur sari, bahkan telah melakukan serangkaian percobaan sehingga
sampai pada kesimpulan bahwa semua jenis irama mulai dari pop, jazz, rock,
dangdut, keroncong, klenengan, sampai tayuban dapat dimainkan dengan campur
sari. “Yang nanggap dangdut sudah jarang, sekarang,” katanya tegas.
Campursari
juga menyentuh dunia wayang. Banyak dalang yang dulu merajalela dan bertahan
pada pakem jatuh pasarannya. “Campur sari siap menampung semua aliran musik di
tanah air,” katanya. “Poco-poco saya garap dengan campur sari jadi kedengaran
lebih megah, begitu pula dengan jaipongan.” Maka ia sampai pada keyakinan bahwa
campur sari bakal awet sampai cucu dan canggah.
Sebagai
dalang ia merupakan pendiri Persatuan Dalang Reformasi ‘Suryo Dadari’. Ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Amien Rais, katanya, tiap tiga bulan selalu
nanggap dia dan sudah dikontrak sampai 2004. Pamornya sebagai dalang begitu
tinggi sehingga setiap kali manggung selalu dipenuhi penonton yang diperkirakan
sebanyak 20.000 orang. Ini tak lepas dari kreatifitasnya sebagai dalang dan
campur sari sehingga ia dijuluki sebagai dalang non-klasik. Dalang klasiknya
adalah Ki Manteb Sudarsono.
Penampilannya
sebagai dalang telah sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Maka iapun menyatakan
niatnya ‘go national’.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar